Hukum-hukum Seputar Haidh

Deloiztulippink09


“Haid adalah darah kebiasaan yang keluar saat kondisi sehat, bukan karena persalinan, keluar dari dalam rahim. Darah ini menjadi  kebiasaan wanita yang telah baligh, keluar di waktu tertentu.”


Pengertian Haid

  1. Ditinjau dari sisi bahasa.

Haid berarti sailaan (سيلان) yaitu aliran. (Lisanul Arab, 7/142) Jauhari berkata dalam Ash Shihaah, “Kata kerja dari haidh adalah hadha – yahidhu. Masdarnya bisa haidh, bisa mahidh. Sedangkan isim  failnya bisa ha-idh, bisa juga ha-idhah.” (Majalah Al Buhuts Al  Islamiyyah)

  1. Ditinjau dari istilah syar’i

Para ulama fikih dari empat madzab berbeda-beda dalam  mendefinisikan kata haid. Meskipun demikian, definisi yang mereka  sampaikan saling berdekatan. Definisi paling lengkap dinyatakan para  ulama madzab Hanbali. Mereka mendefinisikan,   “Haid adalah darah kebiasaan yang keluar saat kondisi sehat, bukan karena persalinan, keluar dari dalam rahim. Darah ini menjadi  kebiasaan wanita yang telah baligh, keluar di waktu tertentu.”  (Kisyaful Qina’, 2/34)

Ciri-Ciri Darah Haid

Syaikh Abu Malik mengatakan, “Darah haid berwarna hitam, kental,  memiliki bau yang tidak sedap yang mengalir dari tempat khusus  wanita (rahim) di waktu-waktu yang telah diketahui.” (Shahih Fiqh  Sunnah, I/206)

Dalilnya, sebuah hadits dari Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa, beliau berkata,  bahwasanya Fathimah binti Abi Hubaisy suatu ketika sedang  istihadhah. Rasulullah ` bersabda kepadanya,

“Darah haid adalah darah hitam sebagaimana kalian ketahui. Jika  darahnya demikian, tinggalkanlah shalat, namun jika darahnya  memiliki ciri-ciri lain (berarti darah istihadhah-pen), berwudhulah  kemudian shalatlah.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i dishahihkan Ibnu  Hibban. Al Hakim berkata hadits ini shahih berdasarkan syarat  Muslim)

Batasan Masa Haid

Pendapat yang kuat mengatakan bahwa masa haid tidak memiliki  batasan minimal dan maksimal karena masa haid berkaitan dengan  kebiasaan dan juga dikarenakan tidak terdapat hadits shahih yang datang dari Nabi ` yang menjelaskan batasan minimal dan  maksimal. ( Shahih Fiqh Sunnah, I/206)  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullaahu menegaskan, “Diantara para  ulama ada yang berpendapat bahwa masa haid maksimal 15 hari dan minimal 1 hari semisal pendapat Asy Syafi’i dan Ahmad. Ada pula  yang berpendapat tidak ada batasan masa haid sama sekali semisal  pendapat Malik. Mereka (ulama madzab Malikiyyah) beralasan tidak  ada satupun hadits shahih dari Nabi ` tidak juga dari para sahabat  beliau tentang masalah ini. Dan yang menjadi acuan masa haid  wanita adalah kebiasaan. Allahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 21/623)

 

Kesimpulan: Kapanpun seorang wanita mendapati darah dengan ciri-ciri darah haid yang keluar di rentang masa haid yang menjadi  kebiasaannya maka darah tersebut adalah darah haid.

Contoh kasus: Seorang wanita memiliki kebiasaan haid 7 atau 8 hari  kemudian kebiasaan ini bertambah hingga satu atau dua hari,  misalnya menjadi 9, 10 atau 11 hari maka pada masa itu dia tetap  dalam kondisi haid, tidak diperbolehkan mengerjakan shalat.  Demikian pula jika lama haid bulan berikutnya berkurang, ia wajib  mandi setelah mendapati tanda suci. Yang terpenting bagi wanita  haid adalah wujudnya darah haid. Selama melihat adanya darah haid,  ia wajib meninggalkan shalat baik lama siklus haid sama dengan  bulan-bulan sebelumnya, kurang ataupun lebih dari biasanya.  (diringkas dari Risalah Fiddima’, hal. 37)

 

Amalan yang Haram Dilakukan Wanita  Haid dengan Kesepakatan Ulama

  1. Shalat

Para ulama sepakat wanita haid dan nifas diharamkan shalat baik  shalat wajib ataupun shalat sunnah. Mereka juga sepakat kewajiban shalat gugur dan tidak ada kewajiban menggantinya ketika suci. (Al  Majmu Linnawawi’, 2/383)

 

Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, Nabi bersabda,

ألَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لمْ تُصَلِّ ولَمْ تَصُمْ؟  فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِها .

“Bukankah wanita haid tidak shalat dan tidak puasa? Demikianlah  kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari  No. 1951 dan Muslim No. 80)  Dan hadits Mu’adzah bahwasanya ada seorang wanita bertanya  kepada ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa, “Apakah perlu bagi kami, para wanita untuk  mengganti shalat ketika suci?” Lalu ‘Aisyah  menjawab,

أحَرُوْرِيةٌ أنْتِ ؟  كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ  ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ ، وَلاَ نؤْمرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

“Apakah engkau wanita Haruriyyah (berfaham khawarij-pen)? Dahulu  kami mengalami haid ditengah-tengah Nabi namun beliau tidak  memerintahkan kami untuk mengganti shalat.” (HR. Bukhari No. 321  dan Muslim No. 265)

 

  1. Puasa

Para ulama sepakat wanita haid dan nifas tidak diperbolehkan  berpuasa akan tetapi wajib mengganti puasa Ramadhan yang  ditinggalkan. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa beliau berkata,

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ  ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ ، وَلاَ نؤْمرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

“Dahulu kami mengalami haid. Kami diperintahkan mengganti puasa  dan tidak diperintah mengganti shalat.” (HR. Muslim No. 265)

 

  1. Jima’

Para imam sepakat akan haramnya bersetubuh dengan istri yang  sedang haid atau nifas. (Majmu’ Fatawa, 21/624) Allah Ta’ala telah mengharamkannya dalam Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ

 

“Oleh sebab itu hendaknya kamu menjauhkan diri dari wanita di  waktu haidh.” (QS. Al Baqarah: 222)

Sabda Nabi ,

 

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ اِلاَّ النِّكاح

 

“Berbuatlah sesukamu kecuali jima.” (HR. Muslim No. 302)  Hadits ini menunjukkan bahwa yang terlarang hanyalah menikmati  kemaluan istri (jima’). Adapun menikmati bagian tubuh yang lain  selain kemaluan maka diperbolehkan. Inilah pendapat yang dipilih  Ats Tsauri, Ahmad, Ishhaq, Ibnul Mundzir, An Nawawi dan ulama lainnya. (Shahih Fiqh Sunnah, I/212)  Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah hadits Masruq tatkala beliau bertanya kepada Ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa

“Saya ingin  bertanya sesuatu kepada Anda akan tetapi saya malu.” ‘Aisyah  menasehatinya, “Sesungguhnya aku ini ibumu dan engkau adalah  anakku.”

Lantas Masruq pun bertanya, “Apa yang boleh dilakukan seorang  laki-laki pada istrinya yang sedang haid?” Jawab ‘Aisyah ,

 

لهُ كُلّ شَيءٍ إلاَّ فَرْجها

 

“Diperbolehkan bagi suami melakukan apapun kecuali terhadap  kemaluan istrinya.” (Hadits diriwayatkan At Thabari dalam At Tafsir dengan sanad shahih)

 

  1. Thawaf

Para ulama sepakat wanita haid diharamkan thawaf (mengelilingi  ka’bah) berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa,

اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ اَلْحَاجُّ, غَيْرَ أَنْ لَا  تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

 

“Lakukanlah amalan seperti yang dilakukan orang yang berhaji  kecuali thawaf di ka’bah sampai engkau suci.” (HR. Bukhari No. 1650)

 

  1. Talak

Seorang suami diharamkan mentalak istri di saat haid. Berdasarkan  firman Allah Ta’ala,

 

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka  hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat  (menghadapi) iddahnya (secara wajar).” (QS. At Thalaq : 1)

 

Iddah adalah batas waktu menunggu bagi sang istri untuk  memastikan bahwa ia tidak hamil setelah dicerai suaminya yaitu  selama 3 quru’ (3 kali siklus haid) atau jika dicerai dalam kondisi  hamil maka masa iddahnya sampai melahirkan. Sehingga waktu yang diperbolehkan bagi suami untuk mentalak  istrinya yaitu pada saat:

  1. Istri sedang hamil. Jika istri sedang hamil maka masa iddahnya jelas yaitu sampai melahirkan.
  2. Mencerai istri di masa suci (masa di luar haid) dan tidak ada hubungan badan selama masa suci tersebut. Jika cerai dijatuhkan  di masa suci namun dilakukan jima’ pada masa suci tersebut  maka akan ada ketidakjelasan, apakah si istri hamil ataukah tidak karena hubungan badan yang dilakukannya tersebut. Jika hamil,  iddahnya dengan melahirkan dan jika tidak hamil, iddahnya  dengan 3 kali haid. Selama belum bisa dipastikan jenis iddahnya  maka suami diharamkan menjatuhkan talak pada istrinya sampai  perkaranya benar-benar jelas. (diringkas dari Risalah Fiddima’,  hal. 1920)
  3. Istri sedang haid tapi sama sekali belum pernah disetubuhi.  Tatkala kondisi seperti ini, tidak ada iddah bagi istri. Misalnya  pengantin baru yang bercerai.

Bagaimana jika talak dijatuhkan pada masa haid?  Seorang suami yang mentalak istrinya di saat haid maka si istri tidak  dapat menghadapi iddahnya karena masa haid di saat jatuh talak  tidak dianggap sebagai iddah dan nantinya si istri akan menghadapi  masa iddah lebih lama lagi. Inilah yang disebut talak bid’ah, talak  yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya `.  Ibnu Qudamah Rahimahullaah menyatakan,

“Adapun yang terlarang dalam syari’at adalah mentalak istri di saat  haid atau mentalaknya di masa suci akan tetapi pernah dilakukan  jima’ di rentang masa suci tersebut. Para ulama di berbagai penjuru  negeri dan di setiap generasi bersepakat akan haramnya perbuatan  ini. Inilah yang disebut talak bid’ah karena berarti si suami telah menyelisihi sunnah dan meninggalkan perintah Allah Ta’ala dan  rasul-Nya `.” (Al Mughni, 7/277)  Dalil lain yang menunjukkan akan haramnya cerai di saat istri haid  adalah sebuah hadits dari Ibnu Umar  tatkala beliau menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Sebagai seorang bapak  yang bertanggung jawab terhadap anaknya, Umar Radhiyallahu ‘anhu mengadukan hal ini kepada Nabi . Maka Nabi  marah  seraya bersabda,

“Suruh ia rujuk pada istrinya kemudian mempertahankannya sampai  ia suci lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, ia dapat  mempertahankannya atau jika ia mau, ia boleh menceraikannya  sebelum disetubuhi. Karena demikianlah iddah yang diperintahkan  Allah dalam menceraikan istri.” (HR. Bukhari No. 4954)

 

Amalah yang Boleh Dilakukan Wanita Haid

  1. Membaca Al Qur’an

Pendapat terkuat dikalangan para ulama adalah diperbolehkan bagi  seorang yang berhadas besar (seperti junub haid dan nifas) ataupun  orang yang berhadas kecil untuk membaca Al Qur’an tanpa  menyentuh mushaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan,  “Pendapat ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat masyhur dikalangan madzab Syafi’i dan Ahmad.” (Majmu’, 21/459)  Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut: Tidak adanya dalil shahih dari Nabi ` yang melarang orang yang  berhadats untuk membaca Al Qur’an. Semua hadits yang  menyebutkan larangan diatas adalah hadits lemah sehingga tidak  bisa dijadikan sandaran.

Nabi ` memerintahkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa tatkala beliau sedang haid,

اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ اَلْحَاجُّ, غَيْرَ أَنْ لَا  تَطُوفِي بِالْبَيْتِ

“Lakukanlah apa saja yang dilakukan orang haji kecuali tawwaf di  Ka’bah.” (HR. Bukhari No. 650) Suatu yang diketahui bersama bahwa orang yang haji itu pasti berdzikir dan juga membaca Al-Qur’an.“ (Shahih Fiqih Sunnah, 1/146)

 

  1. Dzikir dan doa

Terdapat hadits shahih dari Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa,

” كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ ” .

“Bahwasanya Nabi ` berdzikir kepada Allah di setiap keadaan.” (HR. Muslim No. 373)

 

Juga adanya perintah Nabi kepada para wanita haid untuk keluar di hari Idul Fitri,

 

“Hendaknya mereka para wanita berada dibelakang orang-orang  (yang sedang shalat Id) kemudian bertakbir dengan takbir mereka  dan berdoa dengan doa mereka.” (HR. Bukhari No. 971 dan Muslim No. 890)

Dalil-dalil diatas menunjukkan wanita haid diperbolehkan untuk berdoa dan berdzikir.

 

  1. Mendatangi majelis ilmu yang diadakan di tempat selain masjid.  Wanita haid diperbolehkan mendatangi majelis ilmu atau majelis  tahhfidzul Qur’an yang diadakan di rumah, sekolah dan tempat  lainnya selain masjid. Sebagian ulama berpendapat wanita haid tidak  diperbolehkan menetap di masjid. Keluar dari khilaf ulama adalah  bentuk kehati-hatian. Allahu a’lam.

  1. Sujud tilawah

Wanita haid diperbolehkan sujud tilawah, yaitu sujud ketika  membaca ayat sajadah berdasarkan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari No. 4862 bahwasanya suatu ketika Nabi membaca surat An Najm kemudian beliau sujud tilawah sementara  kaum muslimin, orang musyrik dari golongan jin dan manusia ikut  bersujud. Sujud tilawah tidaklah sama dengan sujud ketika shalat. Pada sujud  tilawah tidak disyaratkan bersuci terlebih dahulu. (Shahih Fiqh  Sunnah, 1/214).

  1. Bercengkrama dengan suami selain jima’.

Wanita haid boleh bercengkrama dengan suaminya selama bukan  jima’ seperti makan minum bersama suami, melayani suami, tidur  bersama suami dalam satu selimut, dll.  Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa beliau berkata,

 

“Aku pernah minum sementara aku sedang haid kemudian aku serahkan (minuman tersebut) kepada Nabi `. Beliau pun meletakkan mulutnya ditempat aku minum kemudian beliau  meminumnya. Aku menggigit daging dengan gigiku sementara aku sedang haid kemudian aku menyerahkannya kepada Nabi lalu beliau  meletakkan mulutnya di bekas gigitanku.” (HR. Muslim No. 300)  Dari ‘Aisyah , beliau berkata,

 

“Aku menyisir rambut Nabi ` sementara aku sedang haid.” (HR.  Bukhari No. 295 dan Muslim No. 297)

 

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anhaa beliau berkata,

 

“Suatu ketika aku berbaring bersama Nabi dalam satu kain selimut.  Tiba-tiba aku mengalami haid. Aku pun keluar diam-diam kemudian  memakai pakaian haidku. Beliau ` bertanya, ‘Apakah engkau  sedang  haid?’, ‘Benar.’ Jawabku. Lalu beliau memanggilku. Aku pun kembali berbaring bersama beliau dalam satu selimut.” (HR. Bukhari  No. 298 dan Muslim No. 296)

  1. Memotong kuku dan rambut

Wanita haid diperbolehkan memotong kuku dan rambut. Tidak ada  kewajiban untuk mengumpulkan bekas potongannya. Tidak ada dalil  yang melarang wanita haid memotong kuku dan memerintahkan  untuk mengumpulkan bekas potongannya. Syaikhul Islam Ibnu  Taimiyyah Rahimahullah pernah ditanya tentang permasalahan ini dan beliau  menjawab,

“Terdapat hadits shahih dari Nabi `, diriwayatkan oleh Hudzaifah  dan dari Abu Hurairah, tatkala Beliau ` menjelaskan tentang  seorang yang junub, beliau mengatakan, “Jasad seorang mukmin tidaklah najis.”

 

Dalam Shahih Al Hakim disebutkan,

“Baik hidup ataupun saat mati.” Saya tidak mengetahui dalil syar’i yang memakruhkan potong rambut  dan kuku saat junub (ataupun saat haid-pen). Bahkan sebaliknya Nabi bersabda kepada orang yang baru masuk Islam,

 

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ

 

“Buanglah rambut yang menyertaimu selama masa kekafiran darimu  dan berkhitanlah.” (HR. Abu Dawud No. 356 dan di nilai hasan oleh  Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil (1/120))

 

Kemudian setelah itu beliau memerintahkan orang tadi untuk mandi.  Beliau tidak memerintahkan agar khitan dan memotong rambut  ditunda setelah mandi. Dari sabda beliau ini menunjukkan kedua hal tersebut boleh dilakukan. Mandi dulu atau potong rambut dulu.

Demikian juga wanita haid diperintahkann untuk menyisir rambut  saat mandi sementara sisiran rambut itu bisa merontokkan rambut.”  (Majmu’ Fatawa, 21/120-121)

Yang dimaksud Syaikhul Islam dengan menyisir rambut bagi wanita  haid adalah hadits ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa saat menunaikan haji Wada’. Beliau  mengalami haid. Maka Nabi ` bersabda kepada Aisyah ,

“Urailah kepangan rambutmu dan bersisirlah, mulailah untuk ibadah  haji dan tinggalkan ibadah umrah.” (HR. Bukhari No. 1556 dan  Muslim No. 1211)

Para ulama syafi’iyyah mengatakan dalam Tuhfatul Muhtaj (4/56),  dalil dari madzab ini menunjukkan wanita haid boleh melakukannya  (yaitu potong kuku, mencukur bulu kemaluan dan mencabut bulu  ketiak).

Cara Menentukan Haid Telah Berhenti

Para ulama menegaskan bahwa tanda berhenti haid ada dua, yaitu:

  1. Jufuf (kering), yaitu jika diletakkan kain atau kapas di kemaluan  wanita, tidak akan dijumpai darah. Kapas tetap kering dan bersih.  (Shahih Fiqh Sunnah 1/207, SyarhMumti’ 1/433, Mukhtashar Khaliil,  2/502)
  1. Qashshatul Baidha, yaitu cairan putih seperti kapur yang keluar  dari kemaluan wanita. Ada yang berpendapat qashshah itu mirip  adonan (tepung). Pendapat lain mengatakan qashshah adalah cairan  seperti benang putih.

Diriwayatkan dari Ibnul Qasim bahwa qashshah seperti air kencing   dan diriwayatkan dari Ali, cairan itu seperti mani. Sebagian ulama  Malikiyyah menjelaskan bahwa bisa jadi cirinya berbeda melihat  kondisi tiap wanita dan usianya, iklim, cuaca, dan lingkungan tempat  tinggal. Hanya saja, disebutkan sebagian wanita bahwa qashshah itu  cairan yang mirip mani. (Syarh Mukhtashar Khalil,  2/502)

Tanda suci mana yang harus dipakai?  Pada umumnya tanda seorang wanita telah selesai dari haid adalah dengan keluarnya cairan putih (qashshatul baidha) kecuali jika kebiasaannya tidak keluar cairan putih maka yang menjadi acuan  adalah jufuf (kering).

Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Alqamah. Beliau berkata,  “Dahulu ada beberapa wanita menemui ibunda kaum mukminin,  ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha dengan membawa kapas yang terdapat cairan  kekuningan (shufrah) yang berasal dari darah haid. Mereka bertanya  tentang hukum shalat tatkala keluar cairan tersebut, Beliau menjawab,

 

لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ  ُّتُرِيدُ بِذَلِكَ الطُّهْرَ مِنَ الحَيْضَةِ

‘Janganlah kalian tergesa-gesa (suci) sampai kalian melihat  qashshatul baidha’ (cairan putih) sebagai tanda suci dari haid.’” (HR.  Abu Dawud 307, An Nasai 1/186, Ibnu Majah 647)

Wanita yang tidak mengalami keluarnya cairan putih tatkala haid  berhenti maka tanda sucinya dengan jufuf. Keterangan ini dijelaskan  oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, Beliau mengatakan,  “Suatu yang diketahui oleh para wanita adalah keluarnya cairan putih  ketika haid telah berhenti. Akan tetapi sebagian wanita tidak keluar  cairan ini. Jika demikian maka tatkala itu ia tetap dalam kondisi haid  karena tidak melihat cairan putih. Dan tanda suci wanita tersebut  adalah dengan cara meletakkan kapas putih di kemaluannya  sementara kapas tidak berubah (tetap kering dan bersih).” (Syarhul  Mumti’ 1/433)

Tanda suci wanita tergantung kebiasaannya

Kesimpulan:

  1. Jika wanita mempunyai kebiasaan suci dengan cairan putih  mendapati tanda jufuf maka dia harus menunggu sampai keluar  cairan putih sampai waktu terpilih yaitu sampai satu hari misalnya.  Batas waktu satu hari ini merupakan pendapat Ibnu Utsaimin dan  Ibnu Qudamah :. Beliau  menegaskan,   “Dengan demikian, terputusnya darah selama kurang dari sehari  tidaklah dianggap sebagai suci.” (Al Mughni, 1/399)
  2. Jika wanita dengan kebiasaan suci dengan jufuf lalu mendapati  cairan putih maka tidak perlu menunggu jufuf. Namun jika pertama  kali yang di lihat tanda jufuf maka tidak perlu menunggu cairan putih.
  3. Jika wanita yang memiliki kebiasaan suci dengan kedua tanda  tersebut lalu mendapati tanda jufuf keluar maka dia harus menunggu  cairan putih sampai batas waktu terpilih (1 hari). Namun jika yang nampak pertama kali tanda cairan putih maka tidak perlu menunggu jufuf.

Flek Coklat atau Kekuningan di Masa Haid

Bagaimana cara menentukan flek coklat atau kekuningan termasuk  haid ataukah bukan? Berikut ini penjelasan Syaikh Shalih Al Munajjid hafidzahullah yang kami rangkum dari situs beliau:

Kondisi pertama: Flek coklat dan kekuningan keluar setelah darah  haid (di akhir masa haid). Flek coklat keruh dan kekuningan yang keluar setelah darah haid dan sebelum suci maka termasuk haid. Berdasarkan sebuah riwayat Malik  dalam Al Muwaththa’ No. 130 dari Ummu ’Alqamah beliau berkata,

كُنَّ نِسَاءٌ يَبْعَثْنَ إِلَى عَائِشَةَ بِالدُّرْجَةِ فِيهَا الكُرْسُفُ فِيهِ الصُّفْرَةُ ، فَتَقُولُ : ” لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ ” ، تُرِيدُ بِذَلِكَ الطُّهْرَ مِنَ الحَيْضَةِ .

“Dahulu para wanita mengirimkan kepada ‘Aisyah, ibunda kaum  mukminin dengan membawa wadah yang berisi kapas yang  terdapat flek kekuningan karena darah haid. Mereka bertanya hukum shalat ketika keluar flek tersebut. Maka ’Aisyah : menjawab untuk mereka,

“Janganlah kalian tergesa-gesa  sampai kalian melihat cairan putih sebagai tanda berhenti dari  haid.” (Hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil No.  198) dan diriwayatkan Imam Bukhari secara mu’allaq (Kitabul Haid)

Kondisi kedua: Flek coklat yang keluar sebelum haid (di permulaan  haid).  Jika flek ini:

  1. Keluar di masa haid yang menjadi kebiasaannya atau keluar selang  sebentar sebelum masa haid disertai rasa sakit dan nyeri haid
  2. Bersambung dengan darah haid, maksudnya setelah keluar flek coklat lalu keluar darah haid makaflek ini bagian dari darah haid yang menjadi kebiasaannya.  Wanita tersebut dilarang mengerjakan shalat dan puasa.
  3. Demikian juga jika flek coklat keluar selama satu atau dua hari diiringi  rasa sakit haid kemudian di hari ketiga baru keluar darah haid  sebenarnya, maka seluruhnya dihitung sebagai haid.

Pendapat inilah yang dipilih Syaikh Ibnu Baz . Akan tetapi beliau  hanya memberi syarat flek tersebut bersambung dengan darah haid  saja. Beliau tidak mensyaratkan adanya rasa nyeri haid.

Flek tersebut termasuk haid karena flek coklat dan kekuningan  termasuk salah satu warna-warna darah menurut pendapat  mayoritas ulama pakar fikih. Haid adalah pecahnya dinding rahim  yang terdapat darah dan kotoran didalamnya sehingga darah keluar  dengan warna yang berbeda-beda dan berdegradasi. Dimulai dengan  darah hitam pekat atau kehitam-hitaman kemudian memudar  menjadi warna keruh kecoklatan atau kekuningan. Dan terkadang  yang terjadi sebaliknya. Darah haid dimulai dengan warna  kekuningan atau keruh kecoklatan kemudian keluar darah hitam.

 

Kondisi Ketiga: Flek coklat keruh dan flek kekuningan yang keluar  setelah suci dari haid. Flek yang keluar setelah suci dari haid tidak lagi dianggap sebagai  haid. Berdasarkan hadits Ummu ’Athiyah Radhiyallaahu ‘anhaa,

كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا ” .

“Dahulu kami sama sekali tidak menganggap sebagai haid flek keruh  dan kekuningan yang keluar setelah suci.” (HR. Bukhari No. 320, Abu  Dawud No. 307, An Nasai No. 368 dan Ibnu Majah No. 647 dan lafal  hadits diatas milik Abu Dawud)

Wallaahu A’lamu bishshowaab

Wa billaahi Attaufiiq

 

Penulis : Ustadzah Hamsidar

Editor : Hijriyahni Khoerunnisa, S.Kom


  • Lisanul Arab, Maktabah Asy Syamilah.
  • At Tibyan Fi Aqsamil Qur’anIbnul Qayyim Al Jauziyyah,  Muhammad bin Abu Bakar Ayyub
    Azzur’i, Dar Al Fikr.
  • Asy Syarhul Mumti’ Ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin  Sahlih Al ‘Utsaimin, Muassasah
    Aasam Riyadh
  • Panduan praktis wanita haidh,umi farikhah abdul mu’ti, wanitasholihah.com
  • Al Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Ihyar At Turats Al ‘Arabi.
  • Maraji: Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam Nawawi, Mathba’atul  Muniriyyah. Diakses pada tautan berikut:  http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1 &bk_no=14&ID=1055
  • Di akses pada tautan berikut:  http://shamela.ws/browse.php/book9924
  • Fatawa Arkanil Islam, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
  • Kisyaful Qina’ An Matan Al Iqna’, Makatabah Asy Syamilah
  • Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Majma’ Malik
  • Fahd. Diakses pada tautan berikut:  http://shamela.ws/browse.php/book7289
  • Risalah Fiddima’ Ath Thabi’iyyah Linnisa’, Muhammad Shalih Al‘Utsaimin.
  • Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim,
  • Makatabah Attufiqiyyah.
  • Tamamul Minnah, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah
  • Asy Syamilah.
  • Tafsir Ibni Katsir, Makatabah Asy Syamilah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.