“Haid adalah darah kebiasaan yang keluar saat kondisi sehat, bukan karena persalinan, keluar dari dalam rahim. Darah ini menjadi kebiasaan wanita yang telah baligh, keluar di waktu tertentu.”
Pengertian Haid
- Ditinjau dari sisi bahasa.
Haid berarti sailaan (سيلان) yaitu aliran. (Lisanul Arab, 7/142) Jauhari berkata dalam Ash Shihaah, “Kata kerja dari haidh adalah hadha – yahidhu. Masdarnya bisa haidh, bisa mahidh. Sedangkan isim failnya bisa ha-idh, bisa juga ha-idhah.” (Majalah Al Buhuts Al Islamiyyah)
- Ditinjau dari istilah syar’i
Para ulama fikih dari empat madzab berbeda-beda dalam mendefinisikan kata haid. Meskipun demikian, definisi yang mereka sampaikan saling berdekatan. Definisi paling lengkap dinyatakan para ulama madzab Hanbali. Mereka mendefinisikan, “Haid adalah darah kebiasaan yang keluar saat kondisi sehat, bukan karena persalinan, keluar dari dalam rahim. Darah ini menjadi kebiasaan wanita yang telah baligh, keluar di waktu tertentu.” (Kisyaful Qina’, 2/34)
Ciri-Ciri Darah Haid
Syaikh Abu Malik mengatakan, “Darah haid berwarna hitam, kental, memiliki bau yang tidak sedap yang mengalir dari tempat khusus wanita (rahim) di waktu-waktu yang telah diketahui.” (Shahih Fiqh Sunnah, I/206)
Dalilnya, sebuah hadits dari Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa, beliau berkata, bahwasanya Fathimah binti Abi Hubaisy suatu ketika sedang istihadhah. Rasulullah ` bersabda kepadanya,
“Darah haid adalah darah hitam sebagaimana kalian ketahui. Jika darahnya demikian, tinggalkanlah shalat, namun jika darahnya memiliki ciri-ciri lain (berarti darah istihadhah-pen), berwudhulah kemudian shalatlah.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i dishahihkan Ibnu Hibban. Al Hakim berkata hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim)
Batasan Masa Haid
Pendapat yang kuat mengatakan bahwa masa haid tidak memiliki batasan minimal dan maksimal karena masa haid berkaitan dengan kebiasaan dan juga dikarenakan tidak terdapat hadits shahih yang datang dari Nabi ` yang menjelaskan batasan minimal dan maksimal. ( Shahih Fiqh Sunnah, I/206) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullaahu menegaskan, “Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa masa haid maksimal 15 hari dan minimal 1 hari semisal pendapat Asy Syafi’i dan Ahmad. Ada pula yang berpendapat tidak ada batasan masa haid sama sekali semisal pendapat Malik. Mereka (ulama madzab Malikiyyah) beralasan tidak ada satupun hadits shahih dari Nabi ` tidak juga dari para sahabat beliau tentang masalah ini. Dan yang menjadi acuan masa haid wanita adalah kebiasaan. Allahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 21/623)
Kesimpulan: Kapanpun seorang wanita mendapati darah dengan ciri-ciri darah haid yang keluar di rentang masa haid yang menjadi kebiasaannya maka darah tersebut adalah darah haid.
Contoh kasus: Seorang wanita memiliki kebiasaan haid 7 atau 8 hari kemudian kebiasaan ini bertambah hingga satu atau dua hari, misalnya menjadi 9, 10 atau 11 hari maka pada masa itu dia tetap dalam kondisi haid, tidak diperbolehkan mengerjakan shalat. Demikian pula jika lama haid bulan berikutnya berkurang, ia wajib mandi setelah mendapati tanda suci. Yang terpenting bagi wanita haid adalah wujudnya darah haid. Selama melihat adanya darah haid, ia wajib meninggalkan shalat baik lama siklus haid sama dengan bulan-bulan sebelumnya, kurang ataupun lebih dari biasanya. (diringkas dari Risalah Fiddima’, hal. 37)
Amalan yang Haram Dilakukan Wanita Haid dengan Kesepakatan Ulama
- Shalat
Para ulama sepakat wanita haid dan nifas diharamkan shalat baik shalat wajib ataupun shalat sunnah. Mereka juga sepakat kewajiban shalat gugur dan tidak ada kewajiban menggantinya ketika suci. (Al Majmu Linnawawi’, 2/383)
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, Nabi bersabda,
ألَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لمْ تُصَلِّ ولَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِها .
“Bukankah wanita haid tidak shalat dan tidak puasa? Demikianlah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari No. 1951 dan Muslim No. 80) Dan hadits Mu’adzah bahwasanya ada seorang wanita bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa, “Apakah perlu bagi kami, para wanita untuk mengganti shalat ketika suci?” Lalu ‘Aisyah menjawab,
أحَرُوْرِيةٌ أنْتِ ؟ كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ ، وَلاَ نؤْمرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Apakah engkau wanita Haruriyyah (berfaham khawarij-pen)? Dahulu kami mengalami haid ditengah-tengah Nabi namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat.” (HR. Bukhari No. 321 dan Muslim No. 265)
- Puasa
Para ulama sepakat wanita haid dan nifas tidak diperbolehkan berpuasa akan tetapi wajib mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa beliau berkata,
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ ، وَلاَ نؤْمرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Dahulu kami mengalami haid. Kami diperintahkan mengganti puasa dan tidak diperintah mengganti shalat.” (HR. Muslim No. 265)
- Jima’
Para imam sepakat akan haramnya bersetubuh dengan istri yang sedang haid atau nifas. (Majmu’ Fatawa, 21/624) Allah Ta’ala telah mengharamkannya dalam Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ
“Oleh sebab itu hendaknya kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh.” (QS. Al Baqarah: 222)
Sabda Nabi ,
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ اِلاَّ النِّكاح
“Berbuatlah sesukamu kecuali jima.” (HR. Muslim No. 302) Hadits ini menunjukkan bahwa yang terlarang hanyalah menikmati kemaluan istri (jima’). Adapun menikmati bagian tubuh yang lain selain kemaluan maka diperbolehkan. Inilah pendapat yang dipilih Ats Tsauri, Ahmad, Ishhaq, Ibnul Mundzir, An Nawawi dan ulama lainnya. (Shahih Fiqh Sunnah, I/212) Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah hadits Masruq tatkala beliau bertanya kepada Ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa
“Saya ingin bertanya sesuatu kepada Anda akan tetapi saya malu.” ‘Aisyah menasehatinya, “Sesungguhnya aku ini ibumu dan engkau adalah anakku.”
Lantas Masruq pun bertanya, “Apa yang boleh dilakukan seorang laki-laki pada istrinya yang sedang haid?” Jawab ‘Aisyah ,
لهُ كُلّ شَيءٍ إلاَّ فَرْجها
“Diperbolehkan bagi suami melakukan apapun kecuali terhadap kemaluan istrinya.” (Hadits diriwayatkan At Thabari dalam At Tafsir dengan sanad shahih)
- Thawaf
Para ulama sepakat wanita haid diharamkan thawaf (mengelilingi ka’bah) berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa,
اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ اَلْحَاجُّ, غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
“Lakukanlah amalan seperti yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thawaf di ka’bah sampai engkau suci.” (HR. Bukhari No. 1650)
- Talak
Seorang suami diharamkan mentalak istri di saat haid. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (secara wajar).” (QS. At Thalaq : 1)
Iddah adalah batas waktu menunggu bagi sang istri untuk memastikan bahwa ia tidak hamil setelah dicerai suaminya yaitu selama 3 quru’ (3 kali siklus haid) atau jika dicerai dalam kondisi hamil maka masa iddahnya sampai melahirkan. Sehingga waktu yang diperbolehkan bagi suami untuk mentalak istrinya yaitu pada saat:
- Istri sedang hamil. Jika istri sedang hamil maka masa iddahnya jelas yaitu sampai melahirkan.
- Mencerai istri di masa suci (masa di luar haid) dan tidak ada hubungan badan selama masa suci tersebut. Jika cerai dijatuhkan di masa suci namun dilakukan jima’ pada masa suci tersebut maka akan ada ketidakjelasan, apakah si istri hamil ataukah tidak karena hubungan badan yang dilakukannya tersebut. Jika hamil, iddahnya dengan melahirkan dan jika tidak hamil, iddahnya dengan 3 kali haid. Selama belum bisa dipastikan jenis iddahnya maka suami diharamkan menjatuhkan talak pada istrinya sampai perkaranya benar-benar jelas. (diringkas dari Risalah Fiddima’, hal. 1920)
- Istri sedang haid tapi sama sekali belum pernah disetubuhi. Tatkala kondisi seperti ini, tidak ada iddah bagi istri. Misalnya pengantin baru yang bercerai.
Bagaimana jika talak dijatuhkan pada masa haid? Seorang suami yang mentalak istrinya di saat haid maka si istri tidak dapat menghadapi iddahnya karena masa haid di saat jatuh talak tidak dianggap sebagai iddah dan nantinya si istri akan menghadapi masa iddah lebih lama lagi. Inilah yang disebut talak bid’ah, talak yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya `. Ibnu Qudamah Rahimahullaah menyatakan,
“Adapun yang terlarang dalam syari’at adalah mentalak istri di saat haid atau mentalaknya di masa suci akan tetapi pernah dilakukan jima’ di rentang masa suci tersebut. Para ulama di berbagai penjuru negeri dan di setiap generasi bersepakat akan haramnya perbuatan ini. Inilah yang disebut talak bid’ah karena berarti si suami telah menyelisihi sunnah dan meninggalkan perintah Allah Ta’ala dan rasul-Nya `.” (Al Mughni, 7/277) Dalil lain yang menunjukkan akan haramnya cerai di saat istri haid adalah sebuah hadits dari Ibnu Umar tatkala beliau menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Sebagai seorang bapak yang bertanggung jawab terhadap anaknya, Umar Radhiyallahu ‘anhu mengadukan hal ini kepada Nabi . Maka Nabi marah seraya bersabda,
“Suruh ia rujuk pada istrinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, ia dapat mempertahankannya atau jika ia mau, ia boleh menceraikannya sebelum disetubuhi. Karena demikianlah iddah yang diperintahkan Allah dalam menceraikan istri.” (HR. Bukhari No. 4954)
Amalah yang Boleh Dilakukan Wanita Haid
- Membaca Al Qur’an
Pendapat terkuat dikalangan para ulama adalah diperbolehkan bagi seorang yang berhadas besar (seperti junub haid dan nifas) ataupun orang yang berhadas kecil untuk membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan, “Pendapat ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat masyhur dikalangan madzab Syafi’i dan Ahmad.” (Majmu’, 21/459) Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut: Tidak adanya dalil shahih dari Nabi ` yang melarang orang yang berhadats untuk membaca Al Qur’an. Semua hadits yang menyebutkan larangan diatas adalah hadits lemah sehingga tidak bisa dijadikan sandaran.
Nabi ` memerintahkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa tatkala beliau sedang haid,
اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ اَلْحَاجُّ, غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ
“Lakukanlah apa saja yang dilakukan orang haji kecuali tawwaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari No. 650) Suatu yang diketahui bersama bahwa orang yang haji itu pasti berdzikir dan juga membaca Al-Qur’an.“ (Shahih Fiqih Sunnah, 1/146)
- Dzikir dan doa
Terdapat hadits shahih dari Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa,
” كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ ” .
“Bahwasanya Nabi ` berdzikir kepada Allah di setiap keadaan.” (HR. Muslim No. 373)
Juga adanya perintah Nabi kepada para wanita haid untuk keluar di hari Idul Fitri,
“Hendaknya mereka para wanita berada dibelakang orang-orang (yang sedang shalat Id) kemudian bertakbir dengan takbir mereka dan berdoa dengan doa mereka.” (HR. Bukhari No. 971 dan Muslim No. 890)
Dalil-dalil diatas menunjukkan wanita haid diperbolehkan untuk berdoa dan berdzikir.
- Mendatangi majelis ilmu yang diadakan di tempat selain masjid. Wanita haid diperbolehkan mendatangi majelis ilmu atau majelis tahhfidzul Qur’an yang diadakan di rumah, sekolah dan tempat lainnya selain masjid. Sebagian ulama berpendapat wanita haid tidak diperbolehkan menetap di masjid. Keluar dari khilaf ulama adalah bentuk kehati-hatian. Allahu a’lam.
- Sujud tilawah
Wanita haid diperbolehkan sujud tilawah, yaitu sujud ketika membaca ayat sajadah berdasarkan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari No. 4862 bahwasanya suatu ketika Nabi membaca surat An Najm kemudian beliau sujud tilawah sementara kaum muslimin, orang musyrik dari golongan jin dan manusia ikut bersujud. Sujud tilawah tidaklah sama dengan sujud ketika shalat. Pada sujud tilawah tidak disyaratkan bersuci terlebih dahulu. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/214).
- Bercengkrama dengan suami selain jima’.
Wanita haid boleh bercengkrama dengan suaminya selama bukan jima’ seperti makan minum bersama suami, melayani suami, tidur bersama suami dalam satu selimut, dll. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa beliau berkata,
“Aku pernah minum sementara aku sedang haid kemudian aku serahkan (minuman tersebut) kepada Nabi `. Beliau pun meletakkan mulutnya ditempat aku minum kemudian beliau meminumnya. Aku menggigit daging dengan gigiku sementara aku sedang haid kemudian aku menyerahkannya kepada Nabi lalu beliau meletakkan mulutnya di bekas gigitanku.” (HR. Muslim No. 300) Dari ‘Aisyah , beliau berkata,
“Aku menyisir rambut Nabi ` sementara aku sedang haid.” (HR. Bukhari No. 295 dan Muslim No. 297)
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anhaa beliau berkata,
“Suatu ketika aku berbaring bersama Nabi dalam satu kain selimut. Tiba-tiba aku mengalami haid. Aku pun keluar diam-diam kemudian memakai pakaian haidku. Beliau ` bertanya, ‘Apakah engkau sedang haid?’, ‘Benar.’ Jawabku. Lalu beliau memanggilku. Aku pun kembali berbaring bersama beliau dalam satu selimut.” (HR. Bukhari No. 298 dan Muslim No. 296)
- Memotong kuku dan rambut
Wanita haid diperbolehkan memotong kuku dan rambut. Tidak ada kewajiban untuk mengumpulkan bekas potongannya. Tidak ada dalil yang melarang wanita haid memotong kuku dan memerintahkan untuk mengumpulkan bekas potongannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah pernah ditanya tentang permasalahan ini dan beliau menjawab,
“Terdapat hadits shahih dari Nabi `, diriwayatkan oleh Hudzaifah dan dari Abu Hurairah, tatkala Beliau ` menjelaskan tentang seorang yang junub, beliau mengatakan, “Jasad seorang mukmin tidaklah najis.”
Dalam Shahih Al Hakim disebutkan,
“Baik hidup ataupun saat mati.” Saya tidak mengetahui dalil syar’i yang memakruhkan potong rambut dan kuku saat junub (ataupun saat haid-pen). Bahkan sebaliknya Nabi bersabda kepada orang yang baru masuk Islam,
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ
“Buanglah rambut yang menyertaimu selama masa kekafiran darimu dan berkhitanlah.” (HR. Abu Dawud No. 356 dan di nilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil (1/120))
Kemudian setelah itu beliau memerintahkan orang tadi untuk mandi. Beliau tidak memerintahkan agar khitan dan memotong rambut ditunda setelah mandi. Dari sabda beliau ini menunjukkan kedua hal tersebut boleh dilakukan. Mandi dulu atau potong rambut dulu.
Demikian juga wanita haid diperintahkann untuk menyisir rambut saat mandi sementara sisiran rambut itu bisa merontokkan rambut.” (Majmu’ Fatawa, 21/120-121)
Yang dimaksud Syaikhul Islam dengan menyisir rambut bagi wanita haid adalah hadits ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa saat menunaikan haji Wada’. Beliau mengalami haid. Maka Nabi ` bersabda kepada Aisyah ,
“Urailah kepangan rambutmu dan bersisirlah, mulailah untuk ibadah haji dan tinggalkan ibadah umrah.” (HR. Bukhari No. 1556 dan Muslim No. 1211)
Para ulama syafi’iyyah mengatakan dalam Tuhfatul Muhtaj (4/56), dalil dari madzab ini menunjukkan wanita haid boleh melakukannya (yaitu potong kuku, mencukur bulu kemaluan dan mencabut bulu ketiak).
Cara Menentukan Haid Telah Berhenti
Para ulama menegaskan bahwa tanda berhenti haid ada dua, yaitu:
- Jufuf (kering), yaitu jika diletakkan kain atau kapas di kemaluan wanita, tidak akan dijumpai darah. Kapas tetap kering dan bersih. (Shahih Fiqh Sunnah 1/207, SyarhMumti’ 1/433, Mukhtashar Khaliil, 2/502)
- Qashshatul Baidha, yaitu cairan putih seperti kapur yang keluar dari kemaluan wanita. Ada yang berpendapat qashshah itu mirip adonan (tepung). Pendapat lain mengatakan qashshah adalah cairan seperti benang putih.
Diriwayatkan dari Ibnul Qasim bahwa qashshah seperti air kencing dan diriwayatkan dari Ali, cairan itu seperti mani. Sebagian ulama Malikiyyah menjelaskan bahwa bisa jadi cirinya berbeda melihat kondisi tiap wanita dan usianya, iklim, cuaca, dan lingkungan tempat tinggal. Hanya saja, disebutkan sebagian wanita bahwa qashshah itu cairan yang mirip mani. (Syarh Mukhtashar Khalil, 2/502)
Tanda suci mana yang harus dipakai? Pada umumnya tanda seorang wanita telah selesai dari haid adalah dengan keluarnya cairan putih (qashshatul baidha) kecuali jika kebiasaannya tidak keluar cairan putih maka yang menjadi acuan adalah jufuf (kering).
Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Alqamah. Beliau berkata, “Dahulu ada beberapa wanita menemui ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha dengan membawa kapas yang terdapat cairan kekuningan (shufrah) yang berasal dari darah haid. Mereka bertanya tentang hukum shalat tatkala keluar cairan tersebut, Beliau menjawab,
لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ ُّتُرِيدُ بِذَلِكَ الطُّهْرَ مِنَ الحَيْضَةِ
‘Janganlah kalian tergesa-gesa (suci) sampai kalian melihat qashshatul baidha’ (cairan putih) sebagai tanda suci dari haid.’” (HR. Abu Dawud 307, An Nasai 1/186, Ibnu Majah 647)
Wanita yang tidak mengalami keluarnya cairan putih tatkala haid berhenti maka tanda sucinya dengan jufuf. Keterangan ini dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, Beliau mengatakan, “Suatu yang diketahui oleh para wanita adalah keluarnya cairan putih ketika haid telah berhenti. Akan tetapi sebagian wanita tidak keluar cairan ini. Jika demikian maka tatkala itu ia tetap dalam kondisi haid karena tidak melihat cairan putih. Dan tanda suci wanita tersebut adalah dengan cara meletakkan kapas putih di kemaluannya sementara kapas tidak berubah (tetap kering dan bersih).” (Syarhul Mumti’ 1/433)
Tanda suci wanita tergantung kebiasaannya
Kesimpulan:
- Jika wanita mempunyai kebiasaan suci dengan cairan putih mendapati tanda jufuf maka dia harus menunggu sampai keluar cairan putih sampai waktu terpilih yaitu sampai satu hari misalnya. Batas waktu satu hari ini merupakan pendapat Ibnu Utsaimin dan Ibnu Qudamah :. Beliau menegaskan, “Dengan demikian, terputusnya darah selama kurang dari sehari tidaklah dianggap sebagai suci.” (Al Mughni, 1/399)
- Jika wanita dengan kebiasaan suci dengan jufuf lalu mendapati cairan putih maka tidak perlu menunggu jufuf. Namun jika pertama kali yang di lihat tanda jufuf maka tidak perlu menunggu cairan putih.
- Jika wanita yang memiliki kebiasaan suci dengan kedua tanda tersebut lalu mendapati tanda jufuf keluar maka dia harus menunggu cairan putih sampai batas waktu terpilih (1 hari). Namun jika yang nampak pertama kali tanda cairan putih maka tidak perlu menunggu jufuf.
Flek Coklat atau Kekuningan di Masa Haid
Bagaimana cara menentukan flek coklat atau kekuningan termasuk haid ataukah bukan? Berikut ini penjelasan Syaikh Shalih Al Munajjid hafidzahullah yang kami rangkum dari situs beliau:
Kondisi pertama: Flek coklat dan kekuningan keluar setelah darah haid (di akhir masa haid). Flek coklat keruh dan kekuningan yang keluar setelah darah haid dan sebelum suci maka termasuk haid. Berdasarkan sebuah riwayat Malik dalam Al Muwaththa’ No. 130 dari Ummu ’Alqamah beliau berkata,
كُنَّ نِسَاءٌ يَبْعَثْنَ إِلَى عَائِشَةَ بِالدُّرْجَةِ فِيهَا الكُرْسُفُ فِيهِ الصُّفْرَةُ ، فَتَقُولُ : ” لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ ” ، تُرِيدُ بِذَلِكَ الطُّهْرَ مِنَ الحَيْضَةِ .
“Dahulu para wanita mengirimkan kepada ‘Aisyah, ibunda kaum mukminin dengan membawa wadah yang berisi kapas yang terdapat flek kekuningan karena darah haid. Mereka bertanya hukum shalat ketika keluar flek tersebut. Maka ’Aisyah : menjawab untuk mereka,
“Janganlah kalian tergesa-gesa sampai kalian melihat cairan putih sebagai tanda berhenti dari haid.” (Hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil No. 198) dan diriwayatkan Imam Bukhari secara mu’allaq (Kitabul Haid)
Kondisi kedua: Flek coklat yang keluar sebelum haid (di permulaan haid). Jika flek ini:
- Keluar di masa haid yang menjadi kebiasaannya atau keluar selang sebentar sebelum masa haid disertai rasa sakit dan nyeri haid
- Bersambung dengan darah haid, maksudnya setelah keluar flek coklat lalu keluar darah haid makaflek ini bagian dari darah haid yang menjadi kebiasaannya. Wanita tersebut dilarang mengerjakan shalat dan puasa.
- Demikian juga jika flek coklat keluar selama satu atau dua hari diiringi rasa sakit haid kemudian di hari ketiga baru keluar darah haid sebenarnya, maka seluruhnya dihitung sebagai haid.
Pendapat inilah yang dipilih Syaikh Ibnu Baz . Akan tetapi beliau hanya memberi syarat flek tersebut bersambung dengan darah haid saja. Beliau tidak mensyaratkan adanya rasa nyeri haid.
Flek tersebut termasuk haid karena flek coklat dan kekuningan termasuk salah satu warna-warna darah menurut pendapat mayoritas ulama pakar fikih. Haid adalah pecahnya dinding rahim yang terdapat darah dan kotoran didalamnya sehingga darah keluar dengan warna yang berbeda-beda dan berdegradasi. Dimulai dengan darah hitam pekat atau kehitam-hitaman kemudian memudar menjadi warna keruh kecoklatan atau kekuningan. Dan terkadang yang terjadi sebaliknya. Darah haid dimulai dengan warna kekuningan atau keruh kecoklatan kemudian keluar darah hitam.
Kondisi Ketiga: Flek coklat keruh dan flek kekuningan yang keluar setelah suci dari haid. Flek yang keluar setelah suci dari haid tidak lagi dianggap sebagai haid. Berdasarkan hadits Ummu ’Athiyah Radhiyallaahu ‘anhaa,
كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا ” .
“Dahulu kami sama sekali tidak menganggap sebagai haid flek keruh dan kekuningan yang keluar setelah suci.” (HR. Bukhari No. 320, Abu Dawud No. 307, An Nasai No. 368 dan Ibnu Majah No. 647 dan lafal hadits diatas milik Abu Dawud)
Wallaahu A’lamu bishshowaab
Wa billaahi Attaufiiq
Penulis : Ustadzah Hamsidar
Editor : Hijriyahni Khoerunnisa, S.Kom
- Lisanul Arab, Maktabah Asy Syamilah.
- At Tibyan Fi Aqsamil Qur’anIbnul Qayyim Al Jauziyyah, Muhammad bin Abu Bakar Ayyub
Azzur’i, Dar Al Fikr. - Asy Syarhul Mumti’ Ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Sahlih Al ‘Utsaimin, Muassasah
Aasam Riyadh - Panduan praktis wanita haidh,umi farikhah abdul mu’ti, wanitasholihah.com
- Al Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Ihyar At Turats Al ‘Arabi.
- Maraji: Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam Nawawi, Mathba’atul Muniriyyah. Diakses pada tautan berikut: http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1 &bk_no=14&ID=1055
- Di akses pada tautan berikut: http://shamela.ws/browse.php/book9924
- Fatawa Arkanil Islam, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
- Kisyaful Qina’ An Matan Al Iqna’, Makatabah Asy Syamilah
- Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Majma’ Malik
- Fahd. Diakses pada tautan berikut: http://shamela.ws/browse.php/book7289
- Risalah Fiddima’ Ath Thabi’iyyah Linnisa’, Muhammad Shalih Al‘Utsaimin.
- Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim,
- Makatabah Attufiqiyyah.
- Tamamul Minnah, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah
- Asy Syamilah.
- Tafsir Ibni Katsir, Makatabah Asy Syamilah.